Pondok Gandrung

18 Mei 2009

Part 3 "Nuchbah Baroroh"

Di matamu tak pernah ada luka
Di senyumnya selalu tersimpan asmara
Di kota
Pundak dan aroma tubuhmu
Menyatu
Berjalan bersama debu
Sesekali melempar batu
Saat sepoi
Titipkan salam rindu

Tubuhmu
Besar bersama
Di pangku rasa
Di sela cita…

Nuchbah Baroroh, salah satu wanita penyair yang lahir di Banyuwangi 18 Mei 1964, lulusan IKIP Yogyakarta. Sejak kecil sudah eksis dan bergumul dengan dunia seni. Darah seni yang ada dalam tubuhnya saya rasa terkontaminasi oleh darah sang Ayahanda Mohammad Radji Kakek Ganteng Pujaan Hati.
Beberapa kali menjuarai lomba baca dan cipta puisi, beberapa kali membuat antologi puisi bersama, dan baru sekali menelurkan antologi puisi Dzikir Debu yang menuai banyak respon positif dari murid-muridnya, teman sejawat, dan putra-putrinya –tentunya–.
Pada kesempatan ini, yang akan kita intip adalah puisi Nuchbah Baroroh yang berjudul Banyuwangi, diambil dari Antologi Puisi Tiga Bahasa Banyuwangi, dengan judul yang sama yaitu Banyuwangi;

Banyuwangi

Selalu saja
Kesumat lumut
Menorehkan bimbang
Seolah sejarak tak pernah tumpah
Pada sebingkai peradaban

Padahal

Cerobong-cerobong renta
Tentu sudah lama bercerita
Tentang kota yang ketat
Terpagar cagar budaya

Kelepak gendang
Telah menggubah gigil zaman
Menjadi sebait geliat kehidupan
Banyuwangi, Juni 2004

Pada dasarnya karya sastra, termasuk puisi adalah sebuah anak panah yang dilepaskan dari busurnya, dia bebas kemana akan tertancap dan menancap pada siapa. Bacalah sebentar saat puisi di atas, sebentar saja hanya 2 sampai 3 menit, dalam waktu 3 menit ada geliat perih yang akan kita rasakan, Bu Nuh atau Bu Bar –begitu beliau biasa dipanggil– menitipkan salam pada bayu tentang luka hatinya, tentang luka lama, sebuah kota yang kian tua, Bayuwangi di mata Bu Nuh telah menghilang dalam dentuman musik-musik di diskotik yang menenggelamkan suara-suara merdu gending asli Banyuwangi yang dititipkan angin pada cerobong – cerobong yang hari ini dan nanti semakin renta.
Banyuwangi hari ini dan nanti akan kehilangan nafasnya jika kita tak lagi berdiri lantang berucap bahwa kita sudah merdeka bebas dari segala pasungan, ancaman, dan kesedihan.
Banyuwangi tak akan mati, Lare Oseng akan selalu bernyanyi jayanya negeri
Banyuwangi tak pernah habis kata bercerita…

Sekarang bisa mati besok masih misteri…(mutt)

Label:

Part 2 "Anang Nan"

Ujung dunia yang berbatas

Adalah tempatmu bernafas

Ujung daratan yang luas

Adalah tempatmu melepas

Dalam lorong gandrung sempit

Dalam jurang dalam menghimpit

Seribu rasa dijiwamu menguap

Bersama senandung gandrung

Pelan melambung

Kau yang duduk

Bersama kopi tubruk

Di pojok kota

Bercerita…

Bersama dongeng luka

Di Sebuah kota lama

Di Sebuah nama mesra

Di Sebuah cerita cinta

Pada Suara tentang debur lembut

Sang penguasa hati

Banyuwangi………

(Sby, 15 Mei 2009)

Anang Nan, Anang saya yang satu ini adalah sahabat karib Anang Aya’. Anang Aya’ dan Anang Nan seperti saudara kandung, meski saya masih terlalu muda untuk mengenal lebih jauh persaudaraan dua orang kakek cerdas ini, tapi pribadi 4 jempol selalu saya acungkan untuk mereka berdua. sejauh ini Anang Nan lebih banyak menulis novel, esai ketimbang puisi salah satunya novel spektakulernya Kerudung Santet Gandrung yang juga sempat di filmkan di TVRI –zaman dulu ya Nang?– dan sekarang menjadi penelitian untuk skripsi, tugas akhir, dan sebagainya oleh semua mahasiswa di seluruh Indonesia bahkan mungkin dunia. Dan semoga tidak berlebihan jika kita kuliti novel Kerudung Santet Gandrung ini sekali lagi.

Kata kunci untuk memasuki dunia kerudung santet gandrung adalah agama dan budaya.

Agama dan budaya adalah dua tempat manusia menemukan arti eksistensi dirinya di tengah pergumulan komunitasnya. Manusia yang selalu diliputi oleh berbagai keinginan dan hasrat untuk memuaskan segala angan dan citanya, telah melahirkan sebuah paradigma akan terciptanya gerak evolusi peradaban manusia itu sendiri. Gerak peradaban ini sebagai upaya menemukan bentuk ideal dari sebuah realitas kehidupan. Pencarian bentuk akan berbagai ‘dunia’ ideal ini, pada akhirnya menimbulkan berbagai spekulasi dan prediksi untuk memilah dan memilih beberapa bentuk yang dianggap ‘sreg’ dengan keinginan manusia.

Agama, yang sejatinya merupakan sebuah konsep yang sakral, pada ranah hidup mesti didudukkan pada posisi penuh tandanya. Dengan kata lain, konsep-konsep yang diusung oleh agama mesti ditafsir dan dipahami ulang. Dengan begitu, kesucian dan kemapanan konsep hidup agama yang bertugas meluruskan dan menyerasikan tatanan hidup manusia, tidak jarang dijadikan senjata untuk menjungkir balikkan realitas ideal manusia itu sendiri.

Di samping itu, keinginan manusia untuk memenuhi hasrat kebutuhannya dengan berbagai aktivitas dalam rentang suatu waku telah melahirkan sebuah konsep bersama yakni budaya. Dalam kehidupan sosial, budaya merupakan wahana untuk memahami ekisitensi suatu masyarakat. Artinya, budaya memiliki peran penting untuk melihat sejauh mana kemajuan dan keluhuran jiwa masyarakat itu merumuskan konsep hidup. Lebih jauh, budaya ini berkait-erat dengan kenyataan manusia menemukan keharmonisan antara cita-citanya dan alam sekitarnya. Seperti yang ditegaskan Kleden bahwa alam dan kebudayaan merupakan dua bentuk harmoni tempat manusia aman. Dengan kata lain, kebudayaan yang dihasilkan oleh rutinitas manusia merupakan sebuah wahana mencapai kepuasan jiwa manusia.

Lebih jauh, kehadiran agama di tengah ritual budaya, tidak jarang menghadirkan polemik. Posisi budaya yang lahir atas inisiatif dan kepercayaan manusia akan esensi di dalamnya berbenturan dengan teks suci agama. Perbenturan agama dan budaya kadang disikapi dengan penuh kearifan sehingga melahirkan beberapa kompromi; kadang disikapi frontal sehingga melahirkan ketegangan antara kaum agamais dan kaum budayawan; kadang agama dan budaya memang biasa diterima sebagai ritual yang mesti dilestarikan karena menekankan pada esensi pelaksanaan.

Di dalam memahami posisi budaya dan agama ini, tentunya kita dapat melihat tanda-tanda yang diusung keduanya. Artinya pembacaan terhadap budaya dan agama kita mesti melihat terhadap berbagai persoalan yang menandai akan eksistensinya. Lebih lanjut, membaca dan memahami tanda-tanda ini, dalam dunia sastra, posisi pengarang bisa hadir sebagai juru tafsir, mediator, bahkan sebagai saksi atas berbagai fenomena yang ditimbulkan oleh budaya dan agama. Peran yang terakhir inilah yang dapat ditangkap pada sosok Anang Hasnan Singodimayan atas fenomena budaya gandrung dengan realitas keagamaan (: Islam).

Di dalam novel Kerudung Santet Gandrung Anang Nan coba menyaksikan dan mencatat beberapa fragmen perbenturan budaya dan agama (:Islam). Gandrung yang telah menjadi adat-istiadat bahkan menjadi ikon komunitas masyarakat Banyuwangi dengan berbagai ritual ‘ghaibnya’ telah mendapat sorotan miring dari para kaum yang mengatasnamakan kesucian agama.

Di samping persoalan agama yang ‘mengancam’ eksistensi seni tradisi, Kerudung Santet Gandrung juga ingin memberikan tafsir ulang terhadap paradigma sosial, kaitannya dengan ‘dosa turunan’ yang sempat digembar-gemborkan oleh orde baru untuk memberantas PKI sampai ke akarnya. Mantan PKI atau keturunannya, dalam masyarakat politik kita, masih haram untuk duduk di kursi jabatan pemerintah atau hanya sekadar sebagai pendamping tetaplah aib yang tidak bisa ditoleransi. Pun, persoalan Santet di Banyuwangi, yang pernah menjadi persoalan isu sentral perpolitikan kita di tengah masa transisi orde baru ke era reformasi. Hal ini terjadi sekitar tahun 1999. Persoalan kebudayaan yang menjadi bahan komoditi, dalam Kerudung Santet Gandrung merupakan kenyataan pahit sekaligus kritikan bagi instansi pemerintah negeri yang mengabaikan seni tardisi semisal gandrung.

Kerudung Santet Gandrung sebagai sebuah karya sastra yang lahir dari pergulatan sosial-budaya masyarakatnya, telah menjelma sepotong snapshoot dari realitas masyarakat dengan berbagai sisi, terutama budaya. Dalam hal ini, Kerudung Santet gandrung, mencoba ‘mencatat’ dan menafsir serta merekonstruk bangunan budaya seni tradisi yang ‘termarjinalkan’ karena isu tidak sedap.

Di samping itu, kehadiran Kerudung Santet Gandrung juga merupakan dokumentasi dari khazanah kebudayaan seni tradisi yang terancam punah. Dengan kata lain, relevansi Kerudung Santet Gandrung dengan masyarakatnya tidak hanya sebagai produk semata, tetapi ‘dunia lain’ bagi generasi bangsanya untuk melihat realitas budayanya lebih seksama dan jernih.

Tebak Sosok: Anang Nan sangat dekat dengan karya-karyanya, dalam Kerudung Santet Gandrung ini Anang Nan berperan sebagai siapa?

Tanyalah pada rumput yang bergoyang!!!

Sekarang bisa mati besok masih misteri…(mutt)

Label: