Pondok Gandrung

16 Mei 2009

Melirik Puisi-puisi Penyair Banyuwangi(Part 1_ "Anang Aya’ ")

Banyuwangi, saat ini mungkin lebih dikenal dengan kota Santet, padahal selain santet yang terdengar bernada negatif, masih banyak hal – hal positif yang belum diketahui. Budayanya, masyarakatnya, dan penyair – penyair kota ini yang mampu membius warga Banyuwangi dengan biusan kata – kata indah dari puisi – puisi mereka. Untuk kali pertama, dengan penuh rasa hormat saya menyebut KH. Abdul Kadir Armaya, S. H. Sang Empu Sastra Banyuwangi, Sang Kyai Budaya, yang biasa dipanggil dengan sebutan Anang Aya’ (kakek Aya’) oleh remaja seumuran saya atau Om Aya’ oleh Ibu – Bapak saya.

Anang Aya’ yang disebut berusia Abu Bakar, dan bersemangat Sayyidina Umar oleh Abdullah Fauzi yang juga merupakan salah seorang penyair Banyuwangi, memang penuh semangat, beliau yang juga teman sekolah WS Rendra, Hartojo Angdangdjaja (alm), Goenawan Mohammad, Taufik Ismail adalah jebolan Fakultas Hukum UI. Lahir di Banyuwangi, 10 Juni 1930. Tahun 1984 sepulang dari merantau ke pelbagai daerah di Indonesi untuk memenuhi hasrat seni dalam tubuhnya, Anang Aya’ kembali ke tanah kelahirannya dengan menenteng berkoper – koper pengalaman. Gebrakan awal, beliau membuka pelatihan penulisan naskah drama di aula Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. Setelah itu masih wira – wiri Jakarta – Banyuwangi. (Abdullah Fauzi dalam Bunga Rampai Esai Armaya Fajar Kebudayaan Banyuwangi, 2004: 2). Anang Aya’ di usia senjanya semakin hari kinclong, semakin bersinar dengan karya – karyanya yang tak pernah mati. Kontras dengan warna tubuhnya yang kurus dan gelap. Selain jagoan membuat esai, naskah drama, cerpen, beliau juga tak kalah jago membuat puisi. Ada beberapa judul puisi yang dimuat dalam Armaya, Fajar Kebudayaan Bayuwangi Bunga Rampai Esai, di antaranya:

1. Bila Aku Pulang (buat ibu & yunda) | 2. Kepada B. B | 3. Kepergian | 4. Pedan | 5. Dialog | 6. Pijoan | 7. Cinta dalam Nyanyian | 8. Dadapan | 9. Nostalgia | 10. Berkemah | 11. Renungan Panjang | 12. Tiada dalam Ada | 13. Nyanyian Sejarah | 14. Suara itu Di sana | 15. Segenggam Permata | 16. Lapangan

Dari sekian judul yang menarik hati adalah Cinta dalam Nyanyian, sekilas isinya seperti menceritakan Anang Aya’. Mari kita intip bersama – sama puisi Cinta dalam Nyanyian;

Cinta yang biru
Cinta yang kelabu
dalam sepotong nyanyian

Bayangan hari ini
mengusap wajah
mengusap sejarah

Di sini dalam hati kotaku
Banyuwangi yang berderai
mandi keringat
mencari masa lampau yang hilang
dan masa kini penuh polusi

Cerobomg pabrik kertas “basuki rachmad”
kota yang kering kerontong oleh panas
dan pantai selat bali tak banyak bicara
selain debur ombak dan angin gersang

Kelepak sayap burung camar
saling berpacu dengan perahu nelayan
di pantai banyuwangi yang sunyi
menembus polusi, di kota kesayangan

Dan aku terus berjalan
dalam menyimpan cinta dalam nyanyian
cinta yang biru
cinta yang kelabu
sambil menatap burung camar
dan angin berlalu

Banyuwangi, 1981

Anang Aya’ dengan sejuta pesona aura dalam dirinya yang mampu menyihir semua orang dengan ketajaman dan kesederhanaan dalam puisi – puisinya, yang tercermin juga dalam puisi Cinta dalam Nyanyian ini. Agar kita lebih mencintai Anang Aya’ seperti Anang Aya’ mencintai kita, kurang lengkap rasanya jika kita tidak mencari tahu makna dalam puisi Cinta dalam Nyanyian ini.

Menganalisis puisi bertujuan memahami, menangkap dan memberi makna kepada teks sastra. (Pradopo, 2007: 124). Pemahaman puisi tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budayanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan – kekuatan pada zamannya (Abraham dalam Pradopo, 2007: 254). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak lepas darinya. (Pradopo, 2007: 255).

Begitu juga dengan Anang Aya’ yang menjadi bagian dari masyarakat Banyuwangi tidak akan lepas dari pengaruh sosial – budaya masyarakat Banyuwangi. Terlihat sekali dalam puisinya kali ini, Anang Aya’ seolah resah dengan aroma kota Banyuwangi yang mungkin sebelum ditinggalkannya merantau ke pelosok Nusantara adalah sebuah kota kecil kulon gunung wetan segara, namun saat ini yang terhirup adalah kerikil - kerikil polusi dan nada – nada kebisingan,

Di sini dalam hati kotaku
Banyuwangi yang berderai
mandi keringat
mencari masa lampau yang hilang
dan masa kini penuh polusi

Semua kata yang Anang Aya’ tulis dalam puisi Cinta dalam Nyanyian adalah sebuah pelampian, rasa kesal, dan segala rasa yang bergumul bersatu mengalir bersama aliran darahnya, ikut serta berpacu dengan jantung, berpacu dengan deru polusi, terbang bersama awan – awan kegelisahan, tapi Anang Aya’ tetaplah Anang Aya’ yang akan terus berjalan di atas duri – duri tajam yang disebar zaman, menahan perih demi perubahan.

Dan aku terus berjalan
dalam menyimpan cinta dalam nyanyian
cinta yang biru
cinta yang kelabu
sambil menatap burung camar
dan angin berlalu

Semoga tidak berlebihan jika saya menyebut Anang Aya’ adalah sosok pemoles Banyuwangi, yang memoles hutan rimba dunia sastra di kota ini dengan pensil warna emas, sehingga membuat geliat sastra yang mati suri kembali berdiri.

Hari ini bisa mati, besok masih misteri…… (mutt)

Label:

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

peningsete emas berlian tapi welase isun kepeksan bondo rupo utowo dunyo durung kepasti ring ati nompo

Selasa, 23 Juni, 2009  

Posting Komentar

silahkan komentari posting kami.

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda