Pondok Gandrung

30 Maret 2009

KERUDUNG SANTET GANDRUNG: ANTARA KENISBIAN DAN KESUCIAN MEMBACA BUDAYA DALAM PERSPEKTIF AGAMA

PENDAHULUAN
Agama dan budaya adalah dua tempat manusia menemukan arti eksistensi dirinya di tengah pergumulan komunitasnya. Manusia yang selalu diliputi oleh berbagai keinginan dan hasrat untuk memuaskan segala angan dan citanya, telah melahirkan sebuah paradigma akan terciptanya gerak evolusi peradaban manusia itu sendiri. Gerak peradaban ini sebagai upaya menemukan bentuk ideal dari sebuah realitas kehidupan. Pencarian bentuk akan berbagai ‘dunia’ ideal ini, pada akhirnya menimbulkan berbagai spekulasi dan prediksi untuk memilah dan memilih beberapa bentuk yang dianggap ‘sreg’ dengan keinginan manusia.
Agama, yang sejatinya merupakan sebuah konsep yang sakral, pada ranah hidup mesti didudukkan pada posisi penuh tandanya. Dengan kata lain, konsep-konsep yang diusung oleh agama mesti ditafsir dan dipahami ulang. Dengan begitu, kesucian dan kemapanan konsep hidup agama yang bertugas meluruskan dan menyerasikan tatanan hidup manusia, tidak jarang dijadikan senjata untuk menjungkir balikkan realitas ideal manusia itu sendiri.
Di samping itu, keinginan manusia untuk memenuhi hasrat kebutuhannya dengan berbagai aktivitas dalam rentang suatu waku telah melahirkan sebuah konsep bersama yakni budaya. Dalam kehidupan sosial, budaya merupakan wahana untuk memahami ekisitensi suatu masyarakat. Artinya, budaya memiliki peran penting untuk melihat sejauh mana kemajuan dan keluhuran jiwa masyarakat itu merumuskan konsep hidup. Lebih jauh, budaya ini berkait-erat dengan kenyataan manusia menemukan keharmonisan antara cita-citanya dan alam sekitarnya. Seperti yang ditegaskan Kleden bahwa alam dan kebudayaan merupakan dua bentuk harmoni tempat manusia aman. Dengan kata lain, kebudayaan yang dihasilkan oleh rutinitas manusia merupakan sebuah wahana mencapai kepuasan jiwa manusia.
Lebih jauh, kehadiran agama di tengah ritual budaya, tidak jarang menghadirkan polemik. Posisi budaya yang lahir atas inisiatif dan kepercayaan manusia akan esensi di dalamnya berbenturan dengan teks suci agama. Perbenturan agama dan budaya kadang disikapi dengan penuh kearifan sehingga melahirkan beberapa kompromi; kadang disikapi frontal sehingga melahirkan ketegangan antara kaum agamais dan kaum budayawan; kadang agama dan budaya memang biasa diterima sebagai ritual yang mesti dilestarikan karena menekankan pada esensi pelaksanaan.
Di dalam memahami posisi budaya dan agama ini, tentunya kita dapat melihat tanda-tanda yang diusung keduanya. Artinya pembacaan terhadap budaya dan agama kita mesti melihat terhadap berbagai persoalan yang menandai akan eksistensinya. Lebih lanjut, membaca dan memahami tanda-tanda ini, dalam dunia sastra, posisi pengarang bisa hadir sebagai juru tafsir, mediator, bahkan sebagai saksi atas berbagai fenomena yang ditimbulkan oleh budaya dan agama. Peran yang terakhir inilah yang dapat ditangkap pada sosok Hasnan Singodimayan atas fenomena budaya gandrung dengan realitas keagamaan (: Islam).
Di dalam novel Kerudung Santet Gandrung Hasnan coba menyaksikan dan mencatat beberapa fragmen perbenturan budaya dan agama (:Islam). Gandrung yang telah menjadi adat-istiadat bahkan menjadi ikon komunitas masyarakat Banyuwangi dengan berbagai ritual ‘ghaibnya’ telah mendapat sorotan miring dari para kaum yang mengatasnamakan kesucian agama.

LANDASAN TEORI
Sebagai metode mikroskopis, strukturalisme dianggap mengingkari peranan subjek, baik pengarang sebagai subjek individual maupun masyarakat sebagai subjek transindividual. Oleh karena itulah, metode dan teori strukturalisme dianggap antihumanis. Semiotika memberikan jalan ke luar dengan cara mengembalikan objek sekaligus pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Argumentasi yang dikemukakan dalam teori semiotika adalah asumsi bahwa karya seni merupakan proses komunikasi, karya seni dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima. Makna tanda-tanda bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal dari konteks dimana ia diciptakan, dimana ia tertanam. Jadi, sebuah tanda bisa memiliki arti sangat banyak, atau sama sekali tidak berarti.
Semiotika sosial, menurut salah seorang pelopornya, yaitu Halliday (1992:3-8), adalah semiotika itu sendiri, dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Apabila analisis ekstrinsik terbatas dalam memberikan penjelasan pada aspek tekstual. Unsur-unsur kemasyarakatan sebagaimana terkandung dalam karya, yang kemudian dikaitkan dengan masyarakat dalam kenyataan sehari-hari, semiotika sosial melangkah lebih jauh, di satu pihak mencoba memberikan penilaian pada gejala dibalik objek, di lain pihak memberikan kemungkinan untuk menjelaskan hakikat masyarakat dalam rangka multidisiplin, sebagai multikultural. Halliday dalam hubungan ini menganggap bahwa istilah sosial sejajar dengan kebudayaan.
Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis. Sebagai ilmu tanda, semoitika sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks, dimana tanda-tanda tersebut difungsikan. Tanda tidak berfungsi dalam dirinya sendiri. Oleh karena itulah, baik dalam strukturalisme maupun semiotika konsep antarhubungan memegang peranan yang sangat menentukan, fungsi-fungsi yang selalu diabaikan oleh para peneliti sastra. Sebagai gejala kesastraan, teks juga berfungsi hanya dalam pemakaian, dalam interaksi antara pengirim dan penerima. Puisi, cerpen, novel, peribahasa, dongeng, lagu, lukisan dan sebagainya, berfungsi dan dengan demikian memberikan makna semata-mata dalam proses komunikasi, interaksi antara subjek dengan objek. Sebaliknya dapat dikatakan, sebuah novel besar, bahkan karya sastra pemenang Hadiah Nobel sekalipun, tidak akan ada fungsinya. Menurut visi kontemporer, hanya teks yang bermanfaat, wacana menurut pemahaman lain, bukan karya sebab yang dimaksud dengan karya adalah aspek fisik, ciri-ciri yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Implikasi lebih jauh terhadap semiotika sosial sebagai ilmu, teks dan konteks sebagai objek adalah metode yang harus dilakukan dalam proses pemahaman. Dalam kaitannya dengan semiotika sosial, Halliday mendeskripsikan tiga model hubungan teks, yaitu: a) medan, sebagai ciri-ciri semantis teks, b) pelaku, yaitu orang-orang yang terlibat, dan c) sarana, yaitu ciri-ciri yang diperankan oleh bahasa. Model pemahaman bentuk, fungsi, dan makna, sebagaimana diintroduksi dalam kajian kebudayaan mazhab tertentu, dalam hubungan ini Novel Kerudung Santet Gandrung, ternyata memiliki kesejajaran dan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan model kajian yang ditawarkan oleh Halliday diatas, dengan catatan bahwa bentuk sejajar dengan sarana, fungsi sejajar dengan pelaku, sedangkan makna sejajar dengan medan teks.
Kritik sosial, termasuk dalam ilmu sastra, pada umumnya memperoleh masukan melalui sudut pandang Marxis, bahwa ide, konsep, dan pandangan dunia individu ditentukan oleh keberadaan sosialnya. Menurut Berger dan Lucmann kenyataan dengan demikian dibangun secara sosial, kenyataan dengan kualitas mandiri yang tak tergantung dari kehendak subjek. Secara analogi dapat dikatakan bahwa teks bermakna dalam konteks sosial tertentu, konteks mendahului teks. Reprodusi makna bersifat sosial. Dalam interaksi sosial secara langsung pertukaran makna tersebut terlihat secara jelas sebab dilakukan sekaligus melalui tanda-tanda verbal dan nonverbal.
Sebagai kajian akademis, seperti disinggung di atas, semiotika sosial dimaksudkan sebagai langkah-langkah dalam memanfaatkan sistem tanda bahasa dan sastra sekaligus kaitannya dengan kenyataan diluarnya, yaitu masyarakat itu sendiri. Dalam hubungan ini jelas akan terjadi tumpang tindih dengan sosiologi sastra. Perbedaannya, semiotika sosial tetap berangkat dari sistem tanda, dengan sendirinya dengan memanfaatkan teori-teori semiotika, sedangkan sosiologi sastra berangkat dari asumsi-asumsi dasar hubungan sastra dengan masyarakat, saling mempengaruhi di antara keduanya, dan sebagainya. Teori yang digunakan adalah teori-teori sosiologi sastra. Sebagai teori imperial, semiotika jelas digunakan dalam sosiologi sastra, demikian juga sebaliknya, analisis semiotika, khususnya semiotika sosial jelas dibantu oleh teori-teori sosiologi sastra.
Dalam kehidupan praktis sehari-hari, keberagaman tanda dengan sistemnya, dan dengan sendirinya keberagaman model hubungannya dengan aspek-aspek kemasyarakatannya, memungkinkan timbulnya keberagaman makna. Sistem tanda, apabila dimanfaatkan secara maksimal, dipahami sesuai dengan kebutuhan subjek, jelas akan menjadikan dunia ini lebih berarti. Pemanfaatan sistem tanda secara benar dan positif pada gilirannya merupakan salah satu cara untuk memelihara stabilitas sosial. Pemahaman sistem tanda secara benar mempermudah aktivitas kehidupan, dengan menggunakan energi secara minimal, tetapi memperoleh hasil secara maksimal.

PEMBAHASAN
BUDAYA & AGAMA
Karya sastra merupakan sekumpulan tanda-tanda dari realitas struktur dan sistem masyarakatnya. Tanda-tanda dalam karya sastra memberikan simpul dan arah bagi pembaca untuk memahami apa yang diusung karya sastra tersebut. Dengan kata lain, tanda-tanda karya sastra memiliki peranan kunci dalam memaparkan konstruk karya sastra tersebut. Dalam hal kajian ini, penulis hendak memaparkan berabagai tanda-tanda dalam masyarakat Banyuwangi, lewat khasanah kebudayaan gandrung.
Lebih jauh, pembahasan akan tanda-tanda kebudayaan suatu masyarakat, selalu berkait erat dengan faktor di sekitarnya. Dalam hal ini, budaya gandrung yang lahir dari konstruksi bersama, tiba-tiba termarjinalkan saat dibenturkan dengan agama (:Islam). Dengan kata lain, salah satu persoalan yang urgen untuk dibicarakan adalah posisi gandrung yang dipandang sebagai kesenian yang diliputi dengan alkohol, adegan erotis, dan seks terselubung (Anoegrajekti, 2003: x) dipertentangkan dengan kaum santri. Merlin, penari-sinden gandrung, dalam kehidupan masyarakat, telah dipandang sebelah mata. Menurut mereka, Merlin atau seorang penari-sinden gandrung tidak layak untuk mendapat tempat terhormat di tengah masyarakat yang agamis. Bahkan niat luhur Merlin yang hendak menunaikan ibadah haji, juga mendapat cibiran dari masyarakatnya, terutama dari Nazirah, istri pertama suaminya, Iqbal. Bentrokan antara perspesktif orang yang mendahulukan agama denngan kenyataan lain di balik ‘pelaku budaya’ semisal Merlin dapat dilihat dalam penggalan di bawah ini,
Ketika itu ibu Azizah seperti keberatan. Bukan keberatan melamarnya, tapi keberatan jika adik bungsunya mempersunting seorang penari. Sedang keluarganya sendiri boleh dikata tergolong keluarga santri. (hal 60)
Di dalam masyarakat seolah telah tercipta sebuah konstruk paradigma tentang betapa aibnya seseorang yang mengawini seorang penari. Tidak hanya dalam urusan hubungan keluarga bentrokan budaya dan agama (:Islam) ini. Tidak jarang novel Kerudung Santet Gandrung ini, juga memperlihatkan sebuah fenomena marjinalitas seorang pelaku budaya di tengah ritual ‘keagamaan’ masyakatnya. Bahkan niat tulus seorang Merlin, bekas penari gandrung untuk menunaikan ibadah haji juga mendapat cibiran, terutama dari seterunya, Nazirah.
“Apa mungkin seorang penari yang masih giat menyanyi dan berlagu di muka umum melaksanakan ibadah haji?” (hal 106)
Kenyataan tafsir agama yang dilakukan oleh ‘pemeluknya’ memang mesti dipahami betul. Artinya, bahwa tidak bisa dipungkiri, dalam menafsirkan agama (:Islam) ini, manusia bukan tidak mungkin jatuh dalam ranah tafsir menurut ‘aku’. Tafsir yang mengedepankan egonya, ketimbang melihat sebuah kenyataan yang menginginkan adanya arah gerak yang lebih jernih. Dengan kata lain, novel yang pernah dibuat film dan ditayangkan TPI, hendak menawarkan konstruk baru dalam masyarakat Banyuwangi. Konstruk baru tersebut adalah perpaduan antara bangunan kaum santri dan bangunan dunia seni (:gandrung).
Dalam menggambarkan kontradiksi inilah, Kerudung Santet Gandrung, menyuarakan sebuah fenomena kesadaran untuk membangun image baru status penari gandrung yang berlandaskan kesadaran agama (:Islam). Penari gandrung, yang selama ini bertolak belakang dengan kaum santri, tidak serta merta bahwa sosok penari gandrung tidak memiliki sisi terang untuk menatap dan menata jalan hidupnya. Tapi sayang, stigma lama ditambah tafsir agama (:Islam) yang egois, ketulusan dan keluhuran sisi lain hidup manusia termarjinalkan.
Tapi kenyataan yang dilihatnya tiga hari yang lalu pada acara “seblang agung” sulit untuk bisa dipercaya. Berani sumpah , dia telah melihat cahaya cemerlang pada wajah merlin. Keberanian untuk menyampaikan di hadapan istri dan Nazirah, bisa menjadi boomerang yang bakal menghantam dirinya sendiri, dia bisa dituduh bertingkah syirik dan dituduh sebagai orang yang percaya “gugon tuhon”… (hal 127)
Inilah kenyataan yang cukup pahit: sebuah kebenaran mesti terabaikan saat ‘kuasa’ Tuhan telah disalah tafsirkan. Tasrif, yang menemukan sebuah kenyataan lain pada diri Merlin, tidak dapat berbuat apa-apa berhadapan dengan ego dan ambisi Nazirah untuk menyingkirkan Merlin. Ketakutan Tasrif didasarkan pada ‘statemen’ Nazirah, sebagai orang yang pernah mendiami pondok putri, telah memiliki otoritas agama, yang menganggap bahwa apa yang dilakukan Merlin, menari gandrung, nyinden, serta kemampuannya menaklukkan mantan suaminya, adalah berkat guna-guna atau santet.
Selain konstruk budaya, Kerudung Santet gandrung, juga ‘meramal’ dari eksistensi budaya gandrung yang akan tergerus oleh budaya modern. Hal dapat dilihat pada posisi santri yang terwakili dari kalangan Muhammadiyah, yang selama ini dikenal sebagai kelompok modernitas yang bersebrangan dengan NU yang tradisional dan lebih bersahabat terhadap tradisi lokal. (Sungkowati, 2007).
Berdasarkan adanya tanda-tanda ‘ancaman’ tersebut, Hasnan, sebagai budayawan Banyuwangi, hendak menyelamatkan eksistensi gandrung dengan menawarkan warna baru terhadap sosok penari gandrung. Dengan kata lain, bahwa sebuah eksistensi dan esensi kebudayaan mesti dipahami dan ditafsirkan berdasar hati nurani. Sebab sebuah tradisi atau kebudayaan tetaplah warisan nenek moyang yang lahri dari rasa, cipta, dan karsa manusia dengan interaksi kemanusiaan dalam menemukan sesuatu yang luhur dan damai.
Dalam menggambarkan benturan dua bangunan yang ‘bersebelahan’ ini, kerudung santet gandrung, mencoba menetralisir dengan sebuah ironitas dari seorang Nazirah yang santri putri, yang memiliki pengetahuan agama lebih dibanding Merlin, ternyata juga bisa berbuat sesuatu yang berlawanan dengan ajaran agamanya: perdukunan.
Nazirah dan para kaum santri lainnya, dalam gerakan keagamaannya, sebagai usaha memurnikan ajaran Islam yang datang ke Banyuwangi dan bercampur-baur dengan kepercayaan sinkretisme, animisme, dinamisme dan Hindu yang hidup lebih dulu, ingin membuang dan menolak bentuk kegiatan yang bid’ah, kurafat, termasuk perdukunan.
Melalui opsi menghadirkan Merlin, penari gandrung yang baik dan bersih, dan Nazirah yang santri tapi jahat, Kerudung Santet Gandrung, sekali lagi dengan tujuan menawarkan konstruk baru bagi realitas kebudayaan gandrung, hendak menegaskan bahwa hubungan antara budaya dan agama, baik-buruknya, bergantung pada tafsir individu pelakunya.
Selain itu, untuk lebih menitik-fokuskan pada konstruk barunya, Kerudung Santet Gandrung, menggambarkan keluhuran, moralitas para pendukung seni tradisonal gandrung. Keagungan dan keluhuran moralitas pendukung seni, dapat disimak pada cuplikan
Betapa agungnya jiwa perempuan desa itu. Kejahatan seseorang dibalas dengan kebaikan dan betapa busuknya perbuatan mantan istrinya itu, sekalipun bentuk luarnya tertutup dengan busana kerudung, tapi di dalamnya sebusuk binatang. (hal. 194)
Sedang di sisi lain, kejatahatan dan syiriknya santri Nazirah begitu jelas ditampakkan. Secara tidak langsung, Kerudung Santet Gandrung memihak pada pendukung seni tradisi. Bahkan moralitas yang ditunjukkan oleh Merlin, saking agung dan luhurnya, sampai membuat Nazirah yang jahat dan suka menuduh pendukung seni tradisi sebagai pengguna santet, meski diam-diam Nazirah juga menggunakan santet untuk mencelakakan Merlin,
Maaf, kami baru mendengar pagi tadi dari Azizah. Salam dari mas Iqbal untuk mbakyu. “semoga lekas sembuh” ucapan disampaikan dengan sangat tulus, seraya menyerahkan sebuah amplop yang berisi uang dua ratus ribu rupiah.
“Sementara kami cuma bisa membantu sekian”
Terkaca pada mata Nazirah genangan air yang bergulir secara perlahan, butir-butir bening yang meleleh di pipinya. Nazirah tak tahan melihat putihnya hati yang dibawa Merlin. Tanpa terkendali oleh rasa yang menghujam dadanya, Nazirah langsung memeluk Merlin yang sudah duduk di sampingnya.
“Maafkan aku Merlin, Maafkan”
Mereka yang hadir di ruangan itu merasa terheran-heran melihat adegan yang aneh itu. Tokoh yang tegar bicara di atas mimbar, telah terisak-isak dalam pelukan tilas seorang penari. Lantas di mana kesaktiannya dalam sumpah “baiat” yang pernah diucapkan? (hal.156-157).
Kenyataan ini menegaskan bahwa bentrokan yang terjadi antara agama dan budaya seringkali berangkat dari salah tafsir para pelakunya terdahadap esensinya. Kesalahan tafsir ini diakibatkan oleh rasa dengki dan iri. Penghadiran oposisional budaya dan agama tidak hanya seputar benturan semata, melainkan sebentuk perlawanan terhadap komonitas. Hal ini bisa dilihat dari sikap Iqbal dan Azizah yang mendukung Merlin dan ‘mencemooh’ Nazirah.
Selain perlawanan terhadap kaum santri yang memarjinalkan seni tradisi gandrung, Kerudung Santet Gandrung juga membawa ‘warna pencerahan’ terhadap ‘sisi gelap’ yang sering digambarkan oleh para santri,
“Lagu yang dinyanyikan Merlin itu karangan Iqbal, isinya mengajak orang berbuat baik. Apa bedanya dengan lagu kasidah?”
Mereka semua terdiam. Tapi seorang di antaranya lalu menjawab dengan nada bertanya,
“Bagaimana dengan busana yang dipakainya?”
Maka seperti yang pernah dijelaskan Azizah ketika Rafiqah bermalam di rumahnya. Bahwa setiap Negara dan daerah memiliki busana tradisional dengan ciri keindahan masing-masing.
“Yang dikenakan di Blambangan atau Indonesia adalah ciri pakaian Blambangan dan Indonesia”(hal 105)
Penggambaran nilai-nilai yang terkandung di dalam seni gandrung, merupakan usaha untuk membangun kesepahaman penting budaya dan agama duduk bedampingan. Bahkan segala bentuk yang melekat dalam seni tradisi mesti dipahami sebagai identitas diri.
BUDAYA & POLITIK
Di samping persoalan agama yang ‘mengancam’ eksistensi seni tradisi, Kerudung Santet Gandrung juga ingin memberikan tafsir ulang terhadap paradigma sosial, kaitannya dengan ‘dosa turunan’ yang sempat digembar-gemborkan oleh orde baru untuk memberantas PKI sampai ke akarnya. Mantan PKI atau keturunannya, dalam masyarakat politik kita, masih haram untuk duduk di kursi jabatan pemerintah atau hanya sekadar sebagai pendamping tetaplah aib yang tidak bisa ditoleransi.
Persoalan politik memang tidak begitu kentara di sini diungkap, namun kehadirannya lewat tokoh Budoyo, pejabat pemerintah di dinas kebudayaan, yang awalnya gandrung dengan Merlin, yang di kemudian hari memutuskan untuk menjauhinya karena bapak Merlin yang diduga komunis,
“Benar. Bapaknya komunis”
“Tapi penceraiannya tahun enam puluh empat”
“Bukan masalah perceraiannya dan keterlibatannya” ungkap Iqbal
“Lantas?”
“Bapaknya itu masih buronan”
Budoyo yang baru berusia tiga puluh lima tahun, tak pernah bisa berpikir jika hubungannya dengan merlin itu, punya resiko sangat tinggi, bisa mempengaruhi kedudukannya sebagai kepala cabang kebudayaan kabupaten. (hal 29)
Seorang Budoyo yang urung mempersunting Merlin disebabkan ayahnya yang komunis, dan masih jadi buron mengingatkan kita akan propaganda yang bertentangan dengan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang didasarkan atas kemerdekaan. Lebih jauh, persoalan politik dan budaya, juga mengisyaratkan kental ambisi dalam diri manusia untuk menghakimi manusia lainnya. Dengan kata lain, seni tradisi gandrung yang memiliki sisi luhur nan agung, seolah dipandang sebelah mata tatkala kenyataan politik telah tidak berbicara pada khazanah kebudayaan bangsa yang mesti dilestarikan. Celakanya lagi, seni tradisi yang dilestarikan turun-temurun, dalam ranah politik tidak jarang dijadikan ‘komoditi’ untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan penguasa semata. Dengan kata lain, Kerudung Santet Gandrung, di tengah kepentingan politik telah kehilangan apresiasi.
Keluarga budoyo pernah sekali datang ke daerahnya, tapi bukan untuk menemuinya, Cuma sekadar mau tahu wajah wong osing yang konon menurut cerita suka bermain guna-guna berupa santet-pelet yang bernama sabuk mangir, jaran goyang, dan kopi batokan (hal. 49)
Persoalan santet di Banyuwangi, pernah menjadi persoalan isu sentral perpolitikan kita di tengah masa transisi orde baru ke era reformasi. Hal ini terjadi sekitar tahun 1999. Persoalan kebudayaan yang menjadi bahan komoditi, dalam kerudung santet gandrung merupakan kenyataan pahit sekaligus kritikan bagi instansi pemerintah negeri yang mengabaikan seni tardisi semisal gandrung.
SIMPULAN
Kerudung Santet Gandrung sebagai sebuah karya sastra yang lahir dari pergulatan sosial-budaya masyarakatnya, telah menjelma sepotong snapshoot dari realitas masyarakat dengan berbagai sisi, terutama budaya. Dalam hal ini, Kerudung Santet gandrung, mencoba ‘mencatat’ dan menafsir serta merekonstruk bangunan budaya seni tradisi yang ‘termarjinalkan’ karena isu tidak sedap.
Di samping itu, kehadiran Kerudung Santet Gandrung juga merupakan dokumentasi dari khazanah kebudayaan seni tradisi yang terancam punah. Dengan kata lain, relevansi Kerudung Santet Gandrung dengan masyarakatnya tidak hanya sebagai produk semata, tetapi ‘dunia lain’ bagi generasi bangsanya untuk melihat realitas budayaannya lebih seksama dan jernih.